Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulilah, Wasshalatu Wasshalamu 'Alal Fatihi Linnubuwa we Khatamiha..
we Ba'd...
Ada suatu hal yang mendorong
Penulis menuangkan atau share idea atau mungkin bukan sekedar idea akan tetapi
lebih dari sebuah a simple idea lebih
tepat disebut sebagai sebuah keyakinan, keyakinan akan segala sesuatu akan
berakhir termasuk Penulis, anda dan orang-orang disekeliling anda, keyakinan
akan day of reckoning – yaumul hisaab-, keyakinan akan adanya
sorga dan neraka.
Ketika seorang melakukan tindak
kebajikan, itu bisa saja terjadi karena dorongan nurani, atau karena yakin
bahwa kebajikan akan dibalas dengan kebajikan dikemudian hari, atau karena
yakin akan janji Allah, akan tetapi ketika seseorang melakukan tindak kejahatan
seperti menipu, mencuri, korupsi, menganiaya, hobby menyakiti orang dan jamak
kerakter buruk lainnya, sudah tentu itu bukan dorongan nurani, sudah tentu dia
tidak yakin kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, sudah tentu dia tidak
yakin akan janji Allah, tetapi adalah sesuatu kerakter yang dibiarkan tumbuh
dan menghiasi oknomnya yang biasanya merupakan bias lingkungan, dan latar
belakang pendidikan.
Di negeri far far away ini (away from
my lovely country) diantara sekian banyak kata-kata kesel yang pernah
keluar dari mulut kita dan tentunya terecord oleh malaikat pencatat (I belive
that), ada suatu hal yang sangat menarik kita pikirkan, itu bukan terjadi satu
atau dua kali pada diri Penulis, bahkan mungkin terjadi pada diri anda, ketika
berjalan untuk sebuah keperluan atau santai, di jalan kadang kita dicegat oleh
seseorang atau sejemaat untuk berbicara atau diskusi (seruan bergabung) tentang agama yang mereka yakini
kebenarannya, apa yang Penulis pikirkan dan
sangat salut adalah mereka sangat bersemangat untuk sebuah kebenaran yang
diyakininya, mereka sangat setia akan tugas yang diembannya.
Apa yang sebenarnya Penulis ingin
sampaikan dalam Sharing ini adalah, sejauh mana loyalitas pada keyakinan (baca:
agama) kita, pernahkah kita berpikir
untuk how to improve our belief, atau
sekedar welcome terhadap orang
(baca:da’i) yang menyampaikan seruan agama ini. Apa yang mungkin belum kita
pahami adalah setiap part dari umat
ini mempunyai forsi tersendiri yang bisa
jadi status hukumnya wajib, sunnah, atau mubah –boleh- untuk sebuah pencapaian
islam kamil dan insan kaffah.
Bahwasanya dakwa bukan saja
terbatas kepada minoritas Ulama, Da’i dan para Ustadz, setiap muslim maupun
muslimah mempunyai forsi masing-masing untuk menyampaikan perkara-perkara yang
kadang riskan atau kontras dengan nurani relegi kita, founder agama ini
mengajarkan bahwa dakwa tidak mengenal limitasi waktu dan tempat, dakwa tidak
inklusif pada mimbar, forum diskusi, pengajian dan lain-lain, apatalagi dengan
muncul beragam media, seharusnya sangat membantu dan menyokong penyampain kebeneran
tersebut.
Secara teori dakwa dapat
dikategorikan pada dua hal, dakwa bil
lisan –oral- dan dakwah bil hal –Prilaku-,
khususnya dakwa hbil-hal kita bisa meniru prilaku-prilaku baik orang-orang
sekeliling kita, bagaimana mereka memenage kehidupanya dan mencoba
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, terkadang orang
sangat disibukan dengan urusan dunia hingga melupakan kehidupan ukhrawi,
menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, atau didepan komputer sehingga tidak
sempat membuka atau membaca buku-buku panduan ukhrawi.
Mendengar cerita dari salah
seorang atasan di kantor setelah dinas dari Djibouti tentang bagaimana seorang Liban menghabiskan waktu selama sejam di
masjid setiap fardu untuk bermunajah dan bermuwahajah
–face to face- kepada Allah membuat Penulis sangat malu kepada Allah,
bagaimana tidak Liban yang mempunyai real estate dan jamak bisnis besar lainnya
masih sempat bermuwajahah dengan Allah untuk mengungkapkan rasa syukurnya,
menyatakan bahwa semua yang dia miliki adalah milik Allah, event dirinya adalah
milik Allah, hal tersebut menurut hemat Penulis yang membuatnya betah sejam di
Mesjid.
Ketika kita melihat individu
seperti Liban, kadang kita bergumam “waoh…dan merasa bangga, akan tetapi pernah
kah kita berpikir untuk mencontoh krakter seperti itu, sosok Liban dalam hal
ini adalah dakwah bil-hal untuk kita, orang-orang yang berada dalam lingkungan
kita yang berinisiatif positip adalah dakwah bil-hal dan qudwah –panutan- yang perlu
kita ikuti, kaya dan selalu merasa Fakir –butuh- kepada Allah, punya jabatan yang tinggi namun
bisa menaungi dan adil kepada bawahannya dan selalu merasa bahwa jabatan adalah
amanah.
Terakhir…
Sering-seringlah berwasiat kepada
colleague atau orang-orang disekitar
kita hiasi canda kita dengan selipan hadits atau kata-kata hikma biar kehidupan
ini tidak keliatan monoton, hidup ini untuk share to each other…. The more you
give the more you get in return . J
Peace.
Wassalam
A.Aidid
Room 27, KBRI Addis Ababa 2010