WITHOUT VEIL : WARNING... AL WAHN WILL INFECTED EVERY MUSLIM AND
MUSLIMAH
ISLAM WITHOUT VEIL
Since the recent controversy surrounding the French
government’s ban on total face coverings (burqa or niqab), the head
scarf issue has once again attracted the world’s attention.
Indeed, only very few Muslim women cover their
face completely, which is a reflection of the attitude preached by Sayed al
Tantawi, an imam of Al-Azhar in Cairo, who boldly stated that total face
coverings are not in accordance with Islamic teachings.
It is therefore not surprising that the education
ministry in Syria, a Muslim majority country, has also issued a ban on niqab in
all state and private universities.
Looking at classical Islamic literature, one will
discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion
among Muslim jurists, historians, philosophers, theologians nor any other
thinkers.
There are much more important issues to discuss than
paying attention to whether women’s heads should be covered or left bare.
The headscarf issue, which has served a symbol of
new Islamic revivalism, is new.
The Koran itself never explicitly mentions that
women should cover their hair. Nor is there clear guidance on what parts
of women’s bodies should be covered with what kind of cloth.
Covering women’s heads with only their faces showing, is
part of more recent Islamic conservatism, which has recently penetrated almost
all aspects of Indonesian Muslims’ lives.
Indonesian women, however, have proven themselves to be
creative in making the veil into more of a fashion statement that a symbol of
conservatism.
Girls in campuses and malls have combined the article
with modern trends. Ironically, some headscarf clad women can be found wearing
trendy outfits accentuating the female form.
Those who are in favor of wearing hijab head
scarves justify their ideology, which they consider as a religious duty,
by exploiting the interpretation of verses 33:59 and 24:31 of the Koran.
The remainder of the argument rests on unclear Prophetic
traditions in the Hadith, whose meanings are then violated. The contexts
are forgotten and their main messages are abandoned. The focus of attention is
paid to whether there is a piece of cloth covering a woman’s head. They are
selective in choosing the part of the tradition that supports their argument.
We may question why they are so concerned with two verses
out of more than 6,000 verses in 114 chapters of the Koran. Six years ago in
Ciputat, Tangerang, Banten, in a conversation my colleague, Prof. Abdullah Saeed,
a professor of Islamic Studies at the University of Melbourne,
Australia, wondered that Muslims did not pay enough attention to the prohibition
of lying which occurs in almost every chapter of the
Koran.
Paradoxically, the unclear message of wearing head
scarves in only two verses of the whole Scripture becomes a heated subject of
debate among Muslims.
Of course, wearing a headscarf is neither a theme of
philosophical nor of theological discussion. It can perhaps be inserted in
Islamic law, although its place is marginal. Head scarves are certainly items
of modern fashion that have become prevalent in Muslim communities.
“Looking at classical Islamic literature, one will
discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion
among Muslim jurists, nor any other thinkers.”
It is of course a product of culture. Studies show that
many women have their own various reasons to wear a headscarf — be they
religious, personal, or fashionable. Additionally, wearing a headscarf is
obligated by certain institutions, supported by parents, or friends.
On the other hand, covering head is also an old
tradition, older than Islam itself. Images of women covering their heads have
been found connected to Egyptian, Sumerian, Greek and Byzantine cultures.
Many classical works show that important female figures,
such as the Virgin Mary, covered their heads with cloth. Note that men
also wore headscarves — a fashion which is less popular now, except in the Arab
countries.
Indonesian thinkers, i.e. Nurcholish
Madjid and Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, whom we should be proud
of, warned us that we should distinguish between the spirit of Islam
and Arab culture, the context in which Islam was born. Sukarno, when
he was young, once condemned the segregation of men and women in public forums.
In understanding Islam, Sukarno often called upon
Indonesians to take the flame (the spirit), not the ashes (unessential
elements).
Without doubt, the headscarf issue is not the flame.
It is a part of recent revivalism whose advocates adopted
the headscarf as a symbol and “identity”, indicating their unpreparedness in
facing the challenge of globalization. They are worried of being lost in the
wilds of the global market and feel the need to distinguish themselves.
Since the 1990s in Indonesia, the veil has dominated
the public and at times buried our “identity”. In campuses, streets,
supermarket, vehicles, the hijab has become a trend.
Fewer people wear traditional ethnic clothes even in
ceremonies. We often see weddings with grooms and brides who preferred
“religious dresses” to traditional ethnic garb.
In fact, to wear veil, or not to wear veil, does not
indicate the quality of our piety. It is purely fashion. Traditionally,
Indonesian Islam was never hidden behind a veil.
The writer is a lecturer at the
State Islamic University "Sunan Kalijaga", Yogyakarta.
====================================================================
Pak Hendro Yth.
Berikut ini komentar Saya mengenai artikel diatas..
Saya kurang mengerti mengenai konotasi “Veil” menurut Penulis artikel, apakah
Penulis mendifinisikannya berdasarkan bahasa, atau mendifinisikannya sesuai
dengan adat istiadat setempat dalam hal ini Indonesia. Ataukah Penulis
mendifinisikan veil dalam kerangka terminology syar’i,
karena ketiga definisi tersebut diatas akan berbias pada arti yang berbeda.
Kata-kata Veil ketika saya masukan di kamus
electronic English-Indonesia di computer depan saya, itu bisa berarti Kudung,
kerudung, tudung, selubung, kabut, kata kerjanya bisa berarti mengerudungi atau
menyelebungi, dan kata sifatnya bisa berarti diselubungi (Veiled).
Sebenarnya sangat sulit pemdapatkan padanan kata
خمر/Khumur pada penggalan ayat 31 Al-Nur yang
menjadi landasan hukum wajibnya jilbab. – (واليضربن بخمرهن على جيوبهن) – Hendaknya wanita-wanita itu mengulurkan Khumurnya ke
dada-dada mereka. Yusuf Ali dan Mukhsin Khan menerjemahkan kata-kata Khumur
sebagai Veil,
terjemahan Indonesia versi department Agama juga menerjemahkan Khumur sebagai
Jilbab, hanya saja untuk menjaga terjadinya pergeseran makna karena bias dari
sebuah budaya perlu adanya batasan-batasan mengenai Jilbab yang layak menurut
perspektif Syar’i, karena bisa jadi motif jilbab yang beredar di Indonesia
sekarang – Jilbab modis yang sekedar menutupi kepala, tidak sampai menutupi
dada pemakainya – menjadi terminology khumur atau veil atau jilbab.
Dr. Syeikh Qaradawi, Pemimpin Ulama sedunia ketika
ditanya mengenai status hukum jilbab, dalam acara Al- Syari we Alhayat –Syariat
dan Kehidupan- sebuah acara favorite di channel Al-Jazirah mengatakan bahwa
Khumur dalam surah Al-Nur ayat 31 berarti hendaknya wanita-wanita muslimah
mengulurkan jilbabnya ke dadanya, Beliau membedakan antara Khumur dengan Niqab
(Cadar), dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa Niqab atau Cadar adalah
bukan termasuk perintah syar’i melainkan produk budaya. Dalam tinjauannya bahwasanya
jilbab merupakan suatu keniscayaan bagi wanita-wanita muslimah, merupakan
perintah yang bersumber dari teks atau nash Al-qur’an.
Idealnya dalam mencari terminology jilbab, ada baiknya
kita juga mengkajinya dari sudut histori, setelah keruntuhan khalifah islam di
Turkey oleh kolenial Inggris dan Francis, di Turkey President memberlakukan
liberalisasi islam dan masyarakat Turkey diwajibkan memakai pakaian ala Eropa
Di Cairo, Jilbab bukan menjadi suatu persoalan besar
sampai pada masa imprealisme Francis ke Negara tersebut, penjajahan tersebut
berimbas pada struktur dan impra struktur Negara, termasuk di dalamnya
asimilasi dan akulturasi budaya Francis dengan budaya setempat dalam hal ini
mempengaruhi cara berpakaian penduduk setempat.
setelah penaknulakan ibu kota Khilafah islamiyah di
Istanbul pada tahun 1918 oleh colonial (Inggris dan Francis), dalam Kongres
(Lausanne) pertama yang dilakukan Inggris dan Francis, mereka
menuntut empat perkara
- Penghapusan system
Khilafah
- Pengasingan Khalifah
- Harta Khalifah mesti di
rampas
- Negara Turkey yang baru
harus didirikan atas dasar Sekuler.
Tepatnya 3 Maret 1924 Mustafa Kamal menghapuskan sistem
khilafah, dan Khalifah dibuang pada hari yang sama, merupakan suatu tuntutan yang
harus dibayar oleh Mustafa Kamal ke Pihak colonial untuk menjadikan dirinya
sebagai President dengan system pemerintahan baru Republik Turkey Sekular,
system pendidikan barat diperkenalkan, tulisan latin disosialisasikan dan
tulisan Arab di musnahkan, selain itu masyarakat Turkey juga dipaksa untuk
berbusana ala Europe, dari sinilah awal mula munculnya pergeseran makna
mengenai Khumur/خمر atau Jilbab.
Pak Hendro Yth, Saya ingin mengatakan bahwa Jilbab bukan
saja menjadi symbol ataupun identas wanita-wanita muslimah, akan tetapi
merupakan perintah Syar’i. dan ayat nya sangat jelas mengenai perintah jilbab,
baik di surah Al-Ahzab maupun di Al-Nur.
Mengenai pernyataan kontraversial Almarhum Grand Sheikh
Al-Azhar Al- Sayyid Thantawi (Allahu yarhamhu – Semoga Allah Merahmati beliau)
baik di Francis maupun di lingkungan Azhar sendiri, itu menuai respons hangat
dari pelbagai lapisan komunity intlek agamawan, baik dari dalam negeri dalam
hal ini Egypt maupun dari luar negeri, klimaksanya masih berhubungan dengan Veil ketika
beliau berada dalam salah satu madrasah Al-Azhar di cairo, beliau meminta
seorang santriwati untuk membuka Niqabnya,
dan beliau mengatakan bahwa Niqab- bukan termasuk Syar’i akan tetapi merupakan
produk budaya arab.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa sekeder menutup kepala
dapat dikatakan sebagai islam konservatif, (Covering women’s heads with only their faces
showing, is part of more recent Islamic conservatism,) karena hal
tersebut akan mengantarkan kita kepada pemahaman islam yang persial, walau
tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi dari spirit keislaman seseorang itu
kadang berbeda, khususnya dalam hal mu’amalah. Adapun ketika bersentuhan dengan
implimentasi syar’i (Awliyat diniyah – Pokok-pokok Agama/Syar’i), apatalagi
masalah Akidah, perbedaan itu hampir dikatakan tidak ada, kalaupun ada itu juga
akan berjalan pada koridor yang telah disepakati, dan tentunya tidak akan
melenceng dari substansial persoalan syar’i.
Terakhir….
Perlu mengambil tindakan defensive dari artikel-artikel
yang mencoba mengkelitik pemahaman kita tentang Jilbab, bahwa Jilbab itu tidak
wajib bisa jadi merupakan salah satu usaha untuk menrongrong wibawah
wanita-wanita Muslimah, atau usaha menghilangkan identitas/predikat muslimah
yang diberikan Allah, saya sangat yakin bahwa dibalik semua Perintah Allah,
terselebung seribu makna, dan sangat jauh dari kesia-siaan.
Demikian Pak….pastinya masih terdapat kekurangan… dan
kekurangan itu merupakan keinsanian kita.
Wassalam
Addis Ababa, End of July 2010
A.Adid