Saturday, July 31, 2010


WITHOUT VEIL : WARNING... AL WAHN WILL INFECTED EVERY MUSLIM AND MUSLIMAH

ISLAM WITHOUT VEIL

Since the recent controversy surrounding the French government’s ban on total face coverings (burqa or niqab), the head scarf issue has once again attracted the world’s attention.

Indeed, only very few Muslim women cover their face completely, which is a reflection of the attitude preached by Sayed al Tantawi, an imam of Al-Azhar in Cairo, who boldly stated that total face coverings are not in accordance with Islamic teachings.
It is therefore not surprising that the education ministry in Syria, a Muslim majority country, has also issued a ban on niqab in all state and private universities.

Looking at classical Islamic literature, one will discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion among Muslim jurists, historians, philosophers, theologians nor any other thinkers.

There are much more important issues to discuss than paying attention to whether women’s heads should be covered or left bare.
The headscarf issue, which has served a symbol of new Islamic revivalism, is new.
The Koran itself never explicitly mentions that women should cover their hair.  Nor is there clear guidance on what parts of women’s bodies should be covered with what kind of cloth.

Covering women’s heads with only their faces showing, is part of more recent Islamic conservatism, which has recently penetrated almost all aspects of Indonesian Muslims’ lives.
Indonesian women, however, have proven themselves to be creative in making the veil into more of a fashion statement that a symbol of conservatism.

Girls in campuses and malls have combined the article with modern trends. Ironically, some headscarf clad women can be found wearing trendy outfits accentuating the female form.
Those who are in favor of wearing hijab head scarves justify their ideology, which they consider as a religious duty, by exploiting the interpretation of verses 33:59 and 24:31 of the Koran.

The remainder of the argument rests on unclear Prophetic traditions in the Hadith, whose meanings are then violated. The contexts are forgotten and their main messages are abandoned. The focus of attention is paid to whether there is a piece of cloth covering a woman’s head. They are selective in choosing the part of the tradition that supports their argument.

We may question why they are so concerned with two verses out of more than 6,000 verses in 114 chapters of the Koran. Six years ago in Ciputat, Tangerang, Banten, in a conversation my colleague, Prof. Abdullah Saeed, a professor of Islamic Studies at the University of Melbourne, Australia, wondered that Muslims did not pay enough attention to the prohibition of lying which occurs in almost every chapter of the Koran.
Paradoxically, the unclear message of wearing head scarves in only two verses of the whole Scripture becomes a heated subject of debate among Muslims.

Of course, wearing a headscarf is neither a theme of philosophical nor of theological discussion. It can perhaps be inserted in Islamic law, although its place is marginal. Head scarves are certainly items of modern fashion that have become prevalent in Muslim communities.
“Looking at classical Islamic literature, one will discover that this piece of cloth was never a serious subject of discussion among Muslim jurists, nor any other thinkers.”

It is of course a product of culture. Studies show that many women have their own various reasons to wear a headscarf — be they religious, personal, or fashionable. Additionally, wearing a headscarf is obligated by certain institutions, supported by parents, or friends.

On the other hand, covering head is also an old tradition, older than Islam itself. Images of women covering their heads have been found connected to Egyptian, Sumerian, Greek and Byzantine cultures.

Many classical works show that important female figures, such as the Virgin Mary, covered their heads with cloth. Note that men also wore headscarves — a fashion which is less popular now, except in the Arab countries.

Indonesian thinkers, i.e. Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid “Gus Dur”, whom we should be proud of, warned us that we should distinguish between the spirit of Islam and Arab culture, the context in which Islam was born. Sukarno, when he was young, once condemned the segregation of men and women in public forums.

In understanding Islam, Sukarno often called upon Indonesians to take the flame (the spirit), not the ashes (unessential elements).
Without doubt, the headscarf issue is not the flame.
It is a part of recent revivalism whose advocates adopted the headscarf as a symbol and “identity”, indicating their unpreparedness in facing the challenge of globalization. They are worried of being lost in the wilds of the global market and feel the need to distinguish themselves.

Since the 1990s in Indonesia, the veil has dominated the public and at times buried our “identity”. In campuses, streets, supermarket, vehicles, the hijab has become a trend.

Fewer people wear traditional ethnic clothes even in ceremonies. We often see weddings with grooms and brides who preferred “religious dresses” to traditional ethnic garb.  

In fact, to wear veil, or not to wear veil, does not indicate the quality of our piety. It is purely fashion. Traditionally, Indonesian Islam was never hidden behind a veil.
The writer is a lecturer at the State Islamic University "Sunan Kalijaga", Yogyakarta.

 ====================================================================

Pak Hendro Yth.

Berikut ini komentar Saya mengenai artikel diatas..

Saya kurang mengerti mengenai konotasi “Veil” menurut Penulis artikel, apakah Penulis mendifinisikannya berdasarkan bahasa, atau mendifinisikannya sesuai dengan adat istiadat setempat dalam hal ini Indonesia. Ataukah Penulis mendifinisikan veil dalam kerangka terminology syar’i, karena ketiga definisi tersebut diatas akan berbias pada arti yang berbeda.

Kata-kata Veil ketika saya masukan di kamus electronic English-Indonesia di computer depan saya, itu bisa berarti Kudung, kerudung, tudung, selubung, kabut, kata kerjanya bisa berarti mengerudungi atau menyelebungi, dan kata sifatnya bisa berarti diselubungi (Veiled).

Sebenarnya sangat sulit pemdapatkan padanan kata   خمر/Khumur pada penggalan ayat 31 Al-Nur yang menjadi landasan hukum wajibnya jilbab. – (واليضربن بخمرهن على جيوبهن) – Hendaknya wanita-wanita itu mengulurkan Khumurnya ke dada-dada mereka. Yusuf Ali dan Mukhsin Khan menerjemahkan kata-kata Khumur sebagai Veil, terjemahan Indonesia versi department Agama juga menerjemahkan Khumur sebagai Jilbab, hanya saja untuk menjaga terjadinya pergeseran makna karena bias dari sebuah budaya perlu adanya batasan-batasan mengenai Jilbab yang layak menurut perspektif Syar’i, karena bisa jadi motif jilbab yang beredar di Indonesia sekarang – Jilbab modis yang sekedar menutupi kepala, tidak sampai menutupi dada pemakainya – menjadi terminology khumur atau veil atau jilbab.

Dr. Syeikh Qaradawi, Pemimpin Ulama sedunia ketika ditanya mengenai status hukum jilbab, dalam acara Al- Syari we Alhayat –Syariat dan Kehidupan- sebuah acara favorite di channel Al-Jazirah mengatakan bahwa Khumur dalam surah Al-Nur ayat 31 berarti hendaknya wanita-wanita muslimah mengulurkan jilbabnya ke dadanya, Beliau membedakan antara Khumur dengan Niqab (Cadar), dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa Niqab atau Cadar adalah bukan termasuk perintah syar’i melainkan produk budaya. Dalam tinjauannya bahwasanya jilbab merupakan suatu keniscayaan bagi wanita-wanita muslimah, merupakan perintah yang bersumber dari teks atau nash Al-qur’an.

Idealnya dalam mencari terminology jilbab, ada baiknya kita juga mengkajinya dari sudut histori, setelah keruntuhan khalifah islam di Turkey oleh kolenial Inggris dan Francis, di Turkey President memberlakukan liberalisasi islam dan masyarakat Turkey diwajibkan memakai pakaian ala Eropa

Di Cairo, Jilbab bukan menjadi suatu persoalan besar sampai pada masa imprealisme Francis ke Negara tersebut, penjajahan tersebut berimbas pada struktur dan impra struktur Negara, termasuk di dalamnya asimilasi dan akulturasi budaya Francis dengan budaya setempat dalam hal ini mempengaruhi cara berpakaian penduduk setempat.

setelah penaknulakan ibu kota Khilafah islamiyah di Istanbul pada tahun 1918 oleh colonial (Inggris dan Francis), dalam Kongres (Lausanne)  pertama yang dilakukan Inggris dan Francis,  mereka menuntut empat perkara

-      Penghapusan system Khilafah
-      Pengasingan Khalifah
-      Harta Khalifah mesti di rampas
-      Negara Turkey yang baru harus didirikan atas dasar Sekuler.

Tepatnya 3 Maret 1924 Mustafa Kamal menghapuskan sistem khilafah, dan Khalifah dibuang pada hari yang sama, merupakan suatu tuntutan yang harus dibayar oleh Mustafa Kamal ke Pihak colonial untuk menjadikan dirinya sebagai President dengan system pemerintahan baru Republik Turkey Sekular, system pendidikan barat diperkenalkan, tulisan latin disosialisasikan dan tulisan Arab di musnahkan, selain itu masyarakat Turkey juga dipaksa untuk berbusana ala Europe, dari sinilah awal mula munculnya pergeseran makna mengenai Khumur/خمر atau Jilbab.

Pak Hendro Yth, Saya ingin mengatakan bahwa Jilbab bukan saja menjadi symbol ataupun identas wanita-wanita muslimah, akan tetapi merupakan perintah Syar’i. dan ayat nya sangat jelas mengenai perintah jilbab, baik di surah Al-Ahzab maupun di Al-Nur.


Mengenai pernyataan kontraversial Almarhum Grand Sheikh Al-Azhar Al- Sayyid Thantawi (Allahu yarhamhu – Semoga Allah Merahmati beliau) baik di Francis maupun di lingkungan Azhar sendiri, itu menuai respons hangat dari pelbagai lapisan komunity intlek agamawan, baik dari dalam negeri dalam hal ini Egypt maupun dari luar negeri, klimaksanya masih berhubungan dengan Veil ketika beliau berada dalam salah satu madrasah Al-Azhar di cairo, beliau meminta seorang santriwati untuk membuka Niqabnya, dan beliau mengatakan bahwa Niqab- bukan termasuk Syar’i akan tetapi merupakan produk budaya arab.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa sekeder menutup kepala dapat dikatakan sebagai islam konservatif,  (Covering women’s heads with only their faces showing, is part of more recent Islamic conservatism,) karena hal tersebut akan mengantarkan kita kepada pemahaman islam yang persial, walau tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi dari spirit keislaman seseorang itu kadang berbeda, khususnya dalam hal mu’amalah. Adapun ketika bersentuhan dengan implimentasi syar’i (Awliyat diniyah – Pokok-pokok Agama/Syar’i), apatalagi masalah Akidah, perbedaan itu hampir dikatakan tidak ada, kalaupun ada itu juga akan berjalan pada koridor yang telah disepakati, dan tentunya tidak akan melenceng dari substansial persoalan syar’i.

Terakhir….
Perlu mengambil tindakan defensive dari artikel-artikel yang mencoba mengkelitik pemahaman kita tentang Jilbab, bahwa Jilbab itu tidak wajib bisa jadi merupakan salah satu usaha untuk menrongrong wibawah wanita-wanita Muslimah, atau usaha menghilangkan identitas/predikat muslimah yang diberikan Allah, saya sangat yakin bahwa dibalik semua Perintah Allah, terselebung seribu makna, dan sangat jauh dari kesia-siaan.

Demikian Pak….pastinya masih terdapat kekurangan… dan kekurangan itu merupakan keinsanian kita.

Wassalam
Addis Ababa, End of July 2010
A.Adid

Taro ki ada-ada

HTML Comment Box is loading comments...

Followers