Saturday, March 12, 2011

PAHAM “AMMERE” ANTARA AGAMA DAN DOKTRIN

PAHAM “AMMERE” ANTARA AGAMA DAN DOKTRIN
Sebuah Analisa : A. Aidid Perspektif


Bismillahirrahmanirrahim
Ilahy..Shalli wa Sallim wa Barik Ála Sayyidy Muhammad, Sayyidul Anbiyai wal Mursalien


Pertama Penulis memohon perlindungan Allah s.w.t dari hembusan syetan ke pemikiran Penulis, dari analisa-analisa penulis yang jauh dari Ridho Allah. Semoga dengan tulisan ini dapat me-Refresh dan memberi istinary –pencerahan- terhadap keyakinan Komunitas Aidid perihal “AMMERE” dan juga merupakan sebuah jawaban atau mungkin sebuah langkah awal untuk lebih jauh menganalisa status hukum terhadap apa yang selama ini kita jalankan, dan ajarkan kepada anak cucu kita.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya Penulis mencoba memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan “AMMERE”. Dalam ritual keagamaan yang dipraktekan oleh sebagian besar komunitas Aidid, bahkan mungkin terjadi pada beberapa PAM dari Jamaát Khadramaut-Yaman, AMMERE adalahal-taghrib -pengasingan atau pembuangan (pemutusan pertalian darah/قطع الرحم) kepada seorang perempuan Aidid yang menikah dengan laki-laki lain yang bukan dari komunitas Aidid.

Kalau berpikir serampangan, Penulis bahkan mungkin pembaca akan mengatakan bahwa praktek ritual keagamaan semacam ini adalah sebuah diskriminasi terhadap perempuan-perempuan Aidid, tapi penulis tidak ingin terjebak dalam persepsi seperti di atas tanpa harus menggali dan menganalisa sebab munculnya istilah AMMERE tersebut, karena sepanjang pembacaan Penulis tidak pernah menemukan sebuah dalil sharih atau Qatíyah  baik dari Al-Qurán maupun Hadits yang menjadi landasan hukum praktek ammere, akan tetapi Penulis temukan hukum tersebut sebagai wasiat orang tua, dan dari sebuah rialitas kehidupan komunitas Aidid.

Point pertama yang mungkin menjadi stressing Penulis dalam menyikapi keyakinan atau “doktrin”ammere adalah sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam setiap pikiran seorang Aidid “kenapa seorang perempuan Aidid (Syarifah, Sayyidah atau Habibah) tidak boleh menikah dengan  laki-laki yang bukan Aidid (Syarif, Sayyid, atau Habib).

Untuk menjawab keganjalan ini, perlu adanya pendisklasfikasian antara agama dan doktrin secara konfrehensif. Memisahkan antara mana yang dinamakan agama, dan mana yang pengatasnamaan agama serta mana yang sifatnya doktrin, disamping itu perlu menetralisir pemahaman atau keyakinan sebagian Aidid perihal pemisahan antara umat Rasulullah dan Itraturrassul –Cucu dan cicit Banginda Rasulullah-.

“Ammere” sepanjangan pembacaan Penulis sampai saat sekarang ini, tidak terdapat dalam literature utama umat islam dalil-dalil sharih atau Qatíyah yang menyinggung masalah tersebut, dalam artian Penulis “beranggapan” bahwa hal tersebut tidak lebih dari sebuah “doktrin” pendahulu-pendahulu komunitas Aidid, namun apa alasan pendahulu-pendahulu Aidid mendoktrin generasi selanjutnya perihal ammere adalah satu hal yang menarik kita kaji.

Kaitannya dengan doktrin Ammere Penulis akan memaparkan dua tinjuan perspektif hukum yang berkisar pada tataran teks dan konteks (النص والواقع). Pada tataran teks atau nash ada sebuah Hadits yang menarik kita kaji bersama yang boleh jadi sebagai landasan berpikir pendahulu-pendahulu Aidid perihal Ammere sebagai berikut :

كل نسب وسبب مقطوع يوم القيامة إلا نسبى وسببي (الحديث رواه الطبرانى)

Semua Nasab dan Sebab terputus pada hari kiamat kecuali Nasab dan Sebabku.

Penjelasan Hadits :
Hadits tersebut diatas menjadi polemik para pakar hadits mengenai status Shahi, Hasan, atau Dhaef, sebagian besar ulama hadits sekaliber Albani menganggapnya sebagai hadits shahi, bahkan dalam kita السنة للخلال halaman 432 tercantum dengan lafal yang berbeda (كل صهر ونسب ينقطع إلا صهرى ونسب), dan juga hadits tersebut termaktub dalam kitab صحيح الجامع   dengan predikat Shahi. Dan sebagian pakar Hadits menganggapnya Lemah/ضعيف karena adanya النكارة / keganjilan atau keragu-raguan dari segi matan –kandungan- Hadits.

Dari analisa Penulis bahwa bisa jadi Hadits ini dijadikan oleh kalangan pendahulu Aidid sebagai landasan tentang hukum Ammere, untuk menjaga keterputusan darah keturunan Rasulullah, dalam hal ini implementasi hukum Ammere adalah salah satu bentuk fisik pemaknaan dari hadits tersebut diatas.

Yang kedua adalah pada tataran konteks, dapat dipastikan bahwa setiap golongan Al-Asyraf atauAl-Saadah di belahan bumi manapun, baik itu di Negara Arab, Asia, Afrika maupun eropa, memberlakukan hukum tersebut diatas, hanya saja berbeda pada penerapannya, sebagian mereka menganggapnya bukan sebagai suatu kemutlakan dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai suatu keharusan.

Kembali pada pokok masalah kenapa sebagaian besar komunitas Aidid terlalu ekstrim memberlakukan hukum ammere sebagai suatu kemutlakan, adalah merupakan sebuah tindakan preventive discriminative yang status dan landasan hukumnya masih menjadi perseteruan antara ulama fighi dan kaum Al-Asyraaf dan Al-Saadah. Berikut ini Penulis memberikan beberapa dalil dan hujjah sebagai suatu compare atau bahan pertimbangan dengan keyakinan kaum Aidid selama ini.

Pertama :
Mengenai Hadits Riwayat Imam Tabrany diatas secara umum tidak mengilustrasikan tentang haramnya menikah kaum Al-Asraaf dengan bukan Al-Asraaf.. dan hadits itu juga sarat dengan varian makna, dan apa yang telah menjadi pemaknaan hadits oleh komunitas Aidid selama ini hanya berupa tafsiran, bukan sebuah kemutlakan. Karena sifatnya tafsiran Hadits, bisa jadi tepat dan bisa jadi meleset dari apa yang di maksudkan oleh Rasulullah.

Kedua :
Para pakar fighi berbeda paham mengenai boleh tidaknya golongan Asraaf menikah dengan yang bukan Asyraaf, Aidid dengan yang bukan Aidid, sebagaian besar mereka berpendapat bahwa hal tersebut bukan merupakan sebuah syarat dalam pernikahan, Rasulullah s.a.w. menikahkan Zaenab binti  Jahsy Al-Qarsyi dengan Budak beliau Zaid bin Harits, Sayyidna Ali menikahkan putri Beliau Umm Kaltsum Binti Fatimah Alzahra dengan Umar r.a.

Ketiga :
Pada point ini Penulis akan memaparkan beberapa pendapat golongan Al-Asyraaf mengenai status hokum boleh tidaknya kaum asraaf menikah dengan yang bukan al-asyraaf.

  1. Dr. Ahmad Tayyib (Grand Syeikh Al-Azhar Mesir)

Beliau adalah salah seorang pembesar Al-Asyraf di Mesir mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah tradisi yang tidak terpuji, dan beliau mengajak pemerintah Mesir untuk menyelesaikan persoalan persoalan social kemasyarakatan khususnya golongan Al-Asyraaf Shaidy  yang menolak anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang bukan dari golongan Al-Asraaf.

Beliau menambahkan bahwa saya telah menikahkan putrid saya dengan seorang yang mempunyai Akhlak yang mulia sesuai dengan anjuran Rasulullah yang bukan dari golongan Asyraaf .

2. Dr. Ahmad Omar Hasyim (Ketua Komite Agama untuk masyarakat Mesir dan anggota dewan tinggi Pengawasan Al-Asyraaf)

Beliau mengatakan bahwa tidak mengapa pernikahan antara Perempuan Al-Asyraf dengan yang bukan Al-Asyraaf dengan catatan ridho, suka satu sama lain, dengan dalil bahwasanya Rasulullah menikahkan Putrinya yang bukan dari golongan Asyraaf, dan Ali k.w. menikahkan Putrinya dengan Omar r.a.

Demikian Penulis sampaikan, dan tulisan ini tak lebih dari sebuah analisa yang tentunya tak luput dari kesalahan. Semoga bermanfaat insya Allah

Wassalam
A. Aidid
Addis Ababa, 18 May 2011

or:� ! 3 3 0 �/1 bu Abdullah a.s. berkata : kemunculan Al-Qaim akan ditandai dengan ketidakseimbangan geology bumi yang menyebabkan kerusakan pada buah-buahan dan madu akan terasa pahit, maka janganlah kalian ragu terhadap kedatannya. (Biharul Anwar 52/214)




وعن سعيد بن جبير قال: إن السنة التي يقوم فيها القائم المهدي ، تمطر الأرض أربعاً وعشرين مطره ترى آثارها وبركتها إن شاء الله... (بحار الأنوار 52/212)



Dari Said bin Jubair berkata : Tahun kedatangan Al-Qaim Al Mahdi, akan turun hujan 24 macamnya dampak dan berkahnya akan tampak Insya Allah. (Biharul Anwar 52/212)



Kebenaran absolut hanya disisi Allah, manusia hanya mencoba dan meraba dengan indra dan wahyu Allah, tulisan ini tak lain sekedar mengingatkan Penulis atau mungkin pembaca untuk selalu siap welcome terhadap kedantangan sang Imam, karena kerancuan akal manusia telah menyamarkan kebenaran yang hakiki, yang benar dianggap salah dan salah malahan dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak, dan hal tersebut menjadi pendorong kedatangn beliau.
Wallahu Á’lam wa Á’lam

Addis Ababa, March 12, 2011 (Pukul 01:58)
A. Aidid



Taro ki ada-ada

HTML Comment Box is loading comments...

Followers