PAHAM “AMMERE” ANTARA AGAMA DAN
DOKTRIN
Sebuah Analisa : A. Aidid Perspektif
Bismillahirrahmanirrahim
Ilahy..Shalli wa Sallim wa Barik Ála
Sayyidy Muhammad, Sayyidul Anbiyai wal Mursalien
Pertama Penulis memohon perlindungan
Allah s.w.t dari hembusan syetan ke pemikiran Penulis, dari analisa-analisa
penulis yang jauh dari Ridho Allah. Semoga dengan tulisan ini dapat me-Refresh dan
memberi istinary –pencerahan- terhadap keyakinan Komunitas Aidid
perihal “AMMERE” dan juga merupakan sebuah jawaban atau mungkin sebuah langkah
awal untuk lebih jauh menganalisa status hukum terhadap apa yang selama ini
kita jalankan, dan ajarkan kepada anak cucu kita.
Sebelum membahas lebih lanjut, ada
baiknya Penulis mencoba memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan
“AMMERE”. Dalam ritual keagamaan yang dipraktekan oleh sebagian besar komunitas
Aidid, bahkan mungkin terjadi pada beberapa PAM dari Jamaát Khadramaut-Yaman,
AMMERE adalahal-taghrib -pengasingan atau pembuangan (pemutusan
pertalian darah/قطع الرحم) kepada seorang perempuan Aidid yang menikah dengan laki-laki
lain yang bukan dari komunitas Aidid.
Kalau berpikir serampangan, Penulis
bahkan mungkin pembaca akan mengatakan bahwa praktek ritual keagamaan semacam
ini adalah sebuah diskriminasi terhadap perempuan-perempuan Aidid, tapi penulis
tidak ingin terjebak dalam persepsi seperti di atas tanpa harus menggali dan
menganalisa sebab munculnya istilah AMMERE tersebut, karena sepanjang pembacaan
Penulis tidak pernah menemukan sebuah dalil sharih atau Qatíyah
baik dari Al-Qurán maupun Hadits yang menjadi landasan hukum praktek ammere,
akan tetapi Penulis temukan hukum tersebut sebagai wasiat orang tua, dan dari
sebuah rialitas kehidupan komunitas Aidid.
Point pertama yang mungkin menjadi
stressing Penulis dalam menyikapi keyakinan atau “doktrin”ammere adalah
sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam setiap pikiran seorang Aidid “kenapa
seorang perempuan Aidid (Syarifah, Sayyidah atau Habibah) tidak boleh menikah
dengan laki-laki yang bukan Aidid (Syarif, Sayyid, atau Habib).
Untuk menjawab keganjalan ini, perlu
adanya pendisklasfikasian antara agama dan doktrin secara konfrehensif.
Memisahkan antara mana yang dinamakan agama, dan mana yang pengatasnamaan agama
serta mana yang sifatnya doktrin, disamping itu perlu menetralisir pemahaman
atau keyakinan sebagian Aidid perihal pemisahan antara umat Rasulullah dan Itraturrassul –Cucu
dan cicit Banginda Rasulullah-.
“Ammere” sepanjangan pembacaan
Penulis sampai saat sekarang ini, tidak terdapat dalam literature utama umat
islam dalil-dalil sharih atau Qatíyah yang menyinggung masalah tersebut, dalam
artian Penulis “beranggapan” bahwa hal tersebut tidak lebih dari sebuah
“doktrin” pendahulu-pendahulu komunitas Aidid, namun apa alasan
pendahulu-pendahulu Aidid mendoktrin generasi selanjutnya perihal ammere adalah
satu hal yang menarik kita kaji.
Kaitannya dengan doktrin Ammere
Penulis akan memaparkan dua tinjuan perspektif hukum yang berkisar pada tataran
teks dan konteks (النص والواقع). Pada tataran teks atau nash ada sebuah
Hadits yang menarik kita kaji bersama yang boleh jadi sebagai landasan berpikir
pendahulu-pendahulu Aidid perihal Ammere sebagai berikut :
كل
نسب وسبب مقطوع يوم القيامة إلا نسبى وسببي (الحديث رواه الطبرانى)
Semua Nasab dan Sebab terputus pada
hari kiamat kecuali Nasab dan Sebabku.
Penjelasan Hadits :
Hadits tersebut diatas menjadi
polemik para pakar hadits mengenai status Shahi, Hasan, atau Dhaef, sebagian
besar ulama hadits sekaliber Albani menganggapnya sebagai hadits shahi, bahkan
dalam kita السنة للخلال halaman 432 tercantum dengan lafal yang berbeda (كل صهر ونسب ينقطع إلا صهرى ونسب),
dan juga hadits tersebut termaktub dalam kitab صحيح
الجامع dengan predikat Shahi. Dan
sebagian pakar Hadits menganggapnya Lemah/ضعيف karena adanya النكارة / keganjilan atau keragu-raguan dari segi matan –kandungan-
Hadits.
Dari analisa Penulis bahwa bisa jadi
Hadits ini dijadikan oleh kalangan pendahulu Aidid sebagai landasan tentang
hukum Ammere, untuk menjaga keterputusan darah keturunan Rasulullah, dalam hal
ini implementasi hukum Ammere adalah salah satu bentuk fisik pemaknaan dari
hadits tersebut diatas.
Yang kedua adalah pada tataran
konteks, dapat dipastikan bahwa setiap golongan Al-Asyraf atauAl-Saadah di
belahan bumi manapun, baik itu di Negara Arab, Asia, Afrika maupun eropa,
memberlakukan hukum tersebut diatas, hanya saja berbeda pada penerapannya,
sebagian mereka menganggapnya bukan sebagai suatu kemutlakan dan sebagian
lainnya menganggapnya sebagai suatu keharusan.
Kembali pada pokok masalah kenapa
sebagaian besar komunitas Aidid terlalu ekstrim memberlakukan hukum ammere
sebagai suatu kemutlakan, adalah merupakan sebuah tindakan preventive
discriminative yang status dan landasan hukumnya masih menjadi perseteruan
antara ulama fighi dan kaum Al-Asyraaf dan Al-Saadah. Berikut ini Penulis
memberikan beberapa dalil dan hujjah sebagai suatu compare atau bahan
pertimbangan dengan keyakinan kaum Aidid selama ini.
Pertama :
Mengenai Hadits Riwayat Imam Tabrany
diatas secara umum tidak mengilustrasikan tentang haramnya menikah kaum
Al-Asraaf dengan bukan Al-Asraaf.. dan hadits itu juga sarat dengan varian
makna, dan apa yang telah menjadi pemaknaan hadits oleh komunitas Aidid selama
ini hanya berupa tafsiran, bukan sebuah kemutlakan. Karena sifatnya tafsiran
Hadits, bisa jadi tepat dan bisa jadi meleset dari apa yang di maksudkan oleh
Rasulullah.
Kedua :
Para pakar fighi berbeda paham
mengenai boleh tidaknya golongan Asraaf menikah dengan yang bukan Asyraaf,
Aidid dengan yang bukan Aidid, sebagaian besar mereka berpendapat bahwa hal
tersebut bukan merupakan sebuah syarat dalam pernikahan, Rasulullah s.a.w.
menikahkan Zaenab binti Jahsy Al-Qarsyi dengan Budak beliau Zaid bin
Harits, Sayyidna Ali menikahkan putri Beliau Umm Kaltsum Binti Fatimah Alzahra
dengan Umar r.a.
Ketiga :
Pada point ini Penulis akan
memaparkan beberapa pendapat golongan Al-Asyraaf mengenai status hokum boleh
tidaknya kaum asraaf menikah dengan yang bukan al-asyraaf.
- Dr. Ahmad Tayyib (Grand Syeikh Al-Azhar Mesir)
Beliau adalah salah seorang pembesar
Al-Asyraf di Mesir mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah tradisi yang
tidak terpuji, dan beliau mengajak pemerintah Mesir untuk menyelesaikan
persoalan persoalan social kemasyarakatan khususnya golongan Al-Asyraaf
Shaidy yang menolak anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang bukan
dari golongan Al-Asraaf.
Beliau menambahkan bahwa saya telah
menikahkan putrid saya dengan seorang yang mempunyai Akhlak yang mulia sesuai
dengan anjuran Rasulullah yang bukan dari golongan Asyraaf .
2. Dr. Ahmad Omar Hasyim (Ketua
Komite Agama untuk masyarakat Mesir dan anggota dewan tinggi Pengawasan
Al-Asyraaf)
Beliau mengatakan bahwa tidak
mengapa pernikahan antara Perempuan Al-Asyraf dengan yang bukan Al-Asyraaf
dengan catatan ridho, suka satu sama lain, dengan dalil bahwasanya Rasulullah
menikahkan Putrinya yang bukan dari golongan Asyraaf, dan Ali k.w. menikahkan
Putrinya dengan Omar r.a.
Demikian Penulis sampaikan, dan
tulisan ini tak lebih dari sebuah analisa yang tentunya tak luput dari
kesalahan. Semoga bermanfaat insya Allah
Wassalam
A. Aidid
Addis Ababa, 18 May 2011
or:� ! 3 3 0 �/1 bu Abdullah a.s. berkata : kemunculan Al-Qaim akan ditandai dengan
ketidakseimbangan geology bumi yang menyebabkan kerusakan pada buah-buahan dan
madu akan terasa pahit, maka janganlah kalian ragu terhadap kedatannya.
(Biharul Anwar 52/214)
وعن سعيد بن جبير قال:
إن السنة التي يقوم فيها القائم المهدي ، تمطر الأرض أربعاً وعشرين مطره ترى
آثارها وبركتها إن شاء الله... (بحار الأنوار 52/212)
Dari
Said bin Jubair berkata : Tahun kedatangan Al-Qaim Al Mahdi, akan turun hujan
24 macamnya dampak dan berkahnya akan tampak Insya Allah. (Biharul Anwar
52/212)
Kebenaran
absolut hanya disisi Allah, manusia hanya mencoba dan meraba dengan indra dan
wahyu Allah, tulisan ini tak lain sekedar mengingatkan Penulis atau mungkin
pembaca untuk selalu siap welcome terhadap kedantangan sang Imam, karena
kerancuan akal manusia telah menyamarkan kebenaran yang hakiki, yang benar
dianggap salah dan salah malahan dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak, dan
hal tersebut menjadi pendorong kedatangn beliau.
Wallahu
Á’lam wa Á’lam
Addis
Ababa, March 12, 2011 (Pukul 01:58)
A.
Aidid