Ente Seorang kafir…yabnal kalb yabnallazina
ya kafara…anda keluar dari dien muhammad, ente khawarij…beberapa tudingan ini
mungkin mewakili maraknya takfir di Indonesia, perseteruan sunni-syi’ah dan
intervensi wahabi dalam wacana islam Indonesia akan mengantarkan pada semakin
kerunya pradigma berpikir dan bermazhab di Indonesia.
Menengok kembali sejarah perkembangan
pemikiran –baca:budaya-, realitas dan khazanah perkembangan ilmu pengetahuan
yang pada gilirannya menjadi ushul wa furu’ dalam istimbat ahkam
dalam syari’ah akan memberikan kita stimulasi
untuk mengatakan bahwa keragaman bukan berarti saling mencaci apatalagi sampai
pada level pengkafiran atau takfir.
Pada tahun 1961 terbit sebuah enseklopedia
Jamal Abdul Nashir al-Faqqiyah yang didalamnya mengakui keberadaan mazhab sunni yaitu; Syafi’I, Hanafi, Hambali
dan maliki, kemudian mazhab Syi’ah ; Ja’fariyah, al-‘ibadiyah dan Az-Zhahiriya.
Selain itu deklarasi Mekkah, deklarasi Amman dan fatwa Al-Azhar Al-Syarief
mengokohkan eksistensi syi’ah sebagai bagian daripada Islam.
Konteks dan realitas takfir di Indonesia
cendrung menjadi cikal bakal dan potensi untuk memecah belah persatuan dan
memporak-porandakan “pluralisme” bermazhab dalam islam. Imam Ghazali mengatakan
bahwa: “kalau seandainya anda mendengar
kalimat mengkafirkan suatu kelompok yang diucapkan oleh seseorang, 99
persen di antaranya menunjukan bahwa yang bersangkutan adalah bener-bener
kafir, ketahuilah masih terdapat 1 persen yang memungkinnya dinilai sebagai
orang beriman, maka janganlah kafirkan dia. Membiarkan hidup seorang kafir
kesalahannya jauh lebih ringan daripada membunuh karier keimanan seorang
muslim.
Terkait masalah takfir, Ayatullah Muhammad
Ali al-Taskhiri, Ketua المجمع العالمي للتقريب بين المذاهب الإسلامية mengatakan; "Adalah sesuatu yang wajar apabila seseorang
bertahan pada pendapatnya sendiri dan membelanya dengan seksama dan sekuat
tenaga. Sayangnya, kita terbiasa berdebat berdasar konsekuensi pendapat
sehingga terjadilah aksi pengkafiran dan tuduhan bid’ah, padahal orang yang
berpendapat itu belum tentu menerima konsekwensi tersebut.
Sebelum kita menunding atau mengklaim
seseorang itu kafir, ada baiknya kita memahami pengertian kafir dalam segala
asfeknya :
Dalam kamus al-ma’ani disebutkan bahwa kata
“kafara” berarti seseorang yang tidak mengimani ke-esaan Allah, kenabian
Muhammad, syariat yang dibawah oleh Muhammad atau tidak mengimani ketiganya.
Dalam Al-Quran Surat al-ankabut:12 disebutkan;
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا اتَّبِعُوا
سَبِيلَنَا
Dan berkatalah orang-orang kafir kepada
orang-orang yang beriman: "Ikutilah jalan Kami, [Q.Al-ankabut:12]
Dalam dialek Quraisy, kata kafara secara umum
berarti التغطية/mensiasati
dan bisa berarti الستر/tirai atau menutupi. Ketika seorang petani menabur
benih di lahannya al-Qur’an menyebutnya sebagai Kafir, karena petani tersebut
menutupi benih yang ditabur dengan tanah.
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. [Q.Alhadid:20]
Beberapa Negara Syam
[Lebanon, Palestina, Suriah dan Yordania] juga masih menggunakan kata Kafru,dan
sebagian wilayah mereka dinamai Kafru sebagai ganti dari Qaryah
seperti Kafrunaasij/كفر ناسج, Kafrubthanah/كفر بطنة, kafrussheikh/كفر الشيخ di Mesir.
Namun pada batasan
agama Kafir berarti menyembunyikan hakikat ke-esaan Allah, kenabian Muhammad
dan kebenaran Al-Qur’an.
Al-Qur’an menyebutkan
kata Kafara dan Kafirun sebanyak kurang lebih 177 kali, dan dari total
perulangan tersebut tidak ada satupun ayat yang menjelaskan bahwa “kekeh”
terhadap sebuah pendapat dalam islam adalah kafir. Seperti pada surah
Al-Baqarah kata Kafara dalam semua bentuk kalimatnya sebanyak 19 kali [Ayat : 6, 26, 39, 88,89, 89, 93,102,102,105,
108, 126,253,161, 171, 212, 217, 257, 258] pada konotasinya tidak ada yang
menunjukan kebolehan seorang muslim menuduh muslim yang lainnya sebagai seorang
kafir.
Pada umumnya kafara
dalah surah Al-Baqarah menyoroti karekter orang yang tidak beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan konsekwensi kekafiran mereka sebagai penyandang predikat pendusta,
penghuni kekal neraka, penyandang laknat Allah, mendengar tapi tidak mentaati dan
beberapa krakter-krakter arogan lainnya.
Sebagai seorang
muslim, sunnikah itu atau syi’ah, bijaksananya menarik atau mengajak saudaranya
yang muslim untuk tidak terjerumus pada deretan karakter-karakter kafir tersebut di atas. Perlu analisa dengan
hati dan pikiran yang jernih dalam menyikapi semua issu-issu/persoalan yang
beredar di Nusantara, mengingat jamak kelompok ekstrimis yang bisa jadi menginginkan
polemik Sunni-Syi’ah sebagai media untuk menciptakan gerakan-gerakan saparatis
yang mengarah pada perpecahan.
Sidney Jone,
penasehat senior International Crisis Group (ICG) untuk wilayah Asia Tenggara
mengatakan bahwa bukan tidak mungkin masifnya gerakan anti Syi’ah di Indonesia memposisikan
Syi’ah sebagai target teroris setelah Suriah. Sidney juga mengkwatirkan adanya
kelompok-kelompok radikal yang mengirim mujahidin Indonesia ke Suriah untuk
membantu pemberontakan di Negara tersebut, dalam artian bahwa pasca perang
Suriah akan melahirkan kader-kader yang bisa jadi menjadi cikal bakal
pemberontakan di Indonesia.
Idealnya sebagai
tindakan preventive, mengadakan dialog intermazhab sangat diperlukan
untuk sebuah pencapaian kesefahaman dalam bermazhab, bukannya saling ngotot
mempertahankan perbedaan yang potensial menciptakan konfrontasi dan intoleransi
antar mazhab. Kadang harus mengeyampinkan perbedaan untuk sebuah persatuan. Toh
banyak persamaan antar mazhab yang bisa dikembangkan sebagai sebuah wacana baru
dalam menciftakan ukhwah islamiyah wathaniyah.
Peace..Wallahu A’lam
A.Aidid
Addis Ababa, 11 Pebruari 2014